Headlines News :
Home » » Kisah tentang pemuda yang sedang galau.

Kisah tentang pemuda yang sedang galau.

Written By Unknown on Senin, 01 Juli 2013 | 23.45


Memang suatu keniscayaan dalam kehidupan di dunia ini adalah bekerja, sebagai seorang yang beriman diharuskan mampu survive, bangkit membangun peradaban yang islami seperti yang pernah diraih oleh umat terdahulu. Dan untuk mencapai itu tidaklah cukup ditempuh dengan bekerja keras saja tetapi harus dengan kerja cerdas.

Pandangan tentang Etos Kerja bagi seorang Muslim haruslah sama, yakni bahwa memang jaminan rezeki telah digariskan oleh Allah SWT tetapi kemalasan dalam pandangan Islam tidak mempunyai tempat. Faham Fatalisme atau faham pasrah pada nasib tidaklah dikenal dalam Islam. Dengan tegas dalam Al-Qur’an Firman Allah, “…maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Berdasarkan ayat di atas, rezeki itu harus diusahakan menkonfirmasi ayat di atas, firman Allah pada ayat lain menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).

Dan banyak pula ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?

Riwayat  Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah ada empat. Keempat prinsip itu wajib dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bagaikan bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan).

Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi pejabat adalah halal. Tetapi jika dalam jabatan itu digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah).

Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).

Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).

Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, perlu ditegaskan bahwa kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.

Mudah-mudahan ini menjadi refleksi terhadap Etos Kerja yang biasa kita lakukan sehari-hari. Amin.

Kisah Pemuda Galau

Seorang pemuda yang sedang galau mendatangi seorang ulama yang bijaksana. Pemuda tersebut sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupannya yang penuh problematika, sehingga ia pun mengadu kepada ulama tersebut.

“Wahai orang alim, aku sudah bosan hidup dengan permasalahan yang tiada henti mendera kehidupanku. Dapatkah engkau membantuku menyelesaikan segala masalah yang selalu ada dalam hidupku ini?” Tanya pemuda itu.

“Hai pemuda yang gagah, adakah tempat di muka bumi ini yang tidak menimbulkan masalah? Sesungguhnya setiap yang bernyawa di dunia ini tidak akan terlepas dari yang namanya permasalahan. Nah, maukah kamu aku berikan cara agar mudah menghadapi permasalahanmu itu?” Ulama tersebut balik bertanya.

“Apa yang harus aku lakukan?” Pemuda itu kembali bertanya.

Ulama tersebut hanya tersenyum sembari mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke dalam gelas yang berisi air. Garam itu diaduknya dalam gelas yang berisi air tersebut hingga larut dan diberikan kepada pemuda itu. Kemudian, pemuda tersebut diminta meminum air garam dalam gelas tadi.

“Bagaimana rasanya?” Tanya ulama tersebut.

“Asin sekali,” jawab pemuda itu.

Selanjutnya sang ulama mengajak pemuda itu ke tepi danau air tawar yang luas. Ia pun memasukkan segenggam garam yang sama ukurannya dengan garam sebelumnya yang dimasukkan ke dalam gelas tadi. Setelah beberapa saat mengaduk-aduk air di tepi danau itu, ia pun menyuruh anak muda tadi mengambil air dari danau itu dan diminta meminumnya.

“Bagaimana rasanya?” Ulama itu kembali bertanya.

“Hambar, tawar dan tidak berasa,” kata pemuda itu.

“Demikianlah permasalahan hidup, jika kita menghadapinya dengan hati sempit seperti gelas tadi, maka sangat terasa berat permasalahan hidup ini. Sebaliknya, jika kita menghadapi berbagai macam masalah dengan hati yang lapang seluas danau itu, maka tidak akan terasa permasalahan di dunia ini. Sesungguhnya masalah yang paling berat hanya ketika manusia berada di neraka, maka jadikanlah permasalahanmu di dunia ini sebagai lumbung amal sholehmu agar terbebas dari perkara di neraka jahim.” Jelas ulama itu sambil berlalu meninggalkannya.

Hikmah yang dapat diambil dari ulasan kisah tersebut adalah pentingnya melapangkan hati dalam menyikapi problematika hidup ini. Hati yang lapang akan mampu menampung dan menetralisir permasalahan hidup yang silih berganti datangnya.

Luas dan sempitnya hati sangat mempengaruhi mental seseorang dalam menjalani liku-liku kehidupan. Dengan hati yang lapang, seseorang akan lebih bijak memahami permasalahan hidupnya. Karena hati yang lapang merupakan bagian dari kesabaran seseorang, dan kesabaran adalah anugerah terbaik dari Allah SWT. ”…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang dari pada kesabaran.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan telah banyak pembahasan mengenai sabar yang merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang beriman. “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, maka ia bersyukur. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR Muslim).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Pidato Sunda - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template